Hallo Edufriend!. Sudahkah kamu menonton film “Trilogi
Merah Putih” atau “Trilogi Merdeka”? Film yang mengambarkan betapa hebatnya
perjuangan bangsa Indonesia pada masa itu, telah dituliskan dalam
sebuah esai, loh! Yuk simak tulisan esai berikut ini.
Kebanggaan Memiliki Ideologi Nasionalisme
:
Mengenal Secarik Rasa dan Asa Nasionalisme
dari Film “Trilogi Merdeka”
oleh: Tegar Hidayatulloh
Film
“Trilogi Merah Putih” atau “Trilogi Merdeka” merupakan sekuel film yang
mengambil tema perjuangan rakyat Indonesia (saat itu dikenal dengan sebutan
pribumi) dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi
(1946-1949). Film ini juga dinobatkan sebagai trilogi film perjuangan pertama
di Indonesia. Hal tersebut membuat saya tertarik untuk mencoba mengkaji film
Trilogi Merdeka lewat pengalaman saya menonton film ini dan mengaitkannya
dengan salah satu kajian sastra, yaitu kajian ideologi. Rasa berjuang dan rasa
ingin mempertahankan ini adalah salah satu syarat penting dalam ideologi
Nasionalisme karena rasa nasionalisme seseorang timbul dari rasa ingin berjuang
dan ingin mempertahankan itu sendiri. Saya akan sedikit menceritakan terlebih
dahulu tentang Trilogi Merdeka sebelum mengaitkannya dengan kajian Ideologi.
Merah
Putih merupakan film drama fiksi historis Indonesia yang dirilis tahun 2009 dan
menjadi bagian pertama dari rangkaian film "Trilogi Merdeka" atau
“Trilogi Merah Putih”. Film ini disutradarai oleh Yadi Sugandi dan dirilis
dengan semboyan "Untuk merdeka mereka bersatu". Film ini dibintangi antara
lain oleh Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathrya, Zumi Zola, Teuku
Rifnu Wikana, Rahayu Saraswati, Rudy Wowor, dan Astri Nurdin. Film Merah Putih
berkisah tentang perjuangan melawan tentara Belanda pada tahun 1947. Amir
(Lukman Sardi), Tomas (Donny Alamsyah), Dayan (Teuku Rifnu),Soerono (Zumi
Zola), dan Marius (Darius Sinathrya) adalah lima kadet yang mengikuti latihan
militer di sebuah Barak Bantir di Semarang, Jawa Tengah. Masing-masing
mempunyai latar belakang, suku, dan agama yang berbeda. Suatu ketika, kamp
tempat mereka berlatih diserang tentara Belanda. Seluruh kadet kecuali Amir,
Tomas, Dayan dan Marius terbunuh. Mereka yang berhasil lolos, bergabung dalam
pasukan gerilya di pedalaman Jawa. Di sana,mereka menemukan strategi terbaik untuk
mengalahkan banyak pasukan Belanda hanya dengan mengandalkan peralatan perang
seadanya, sedikit pasukan tempur, dan perbukitan sebagai tameng pertahanan
sekaligus serangan.
Yang
kedua ada Darah Garuda atau Merah Putih II, film drama fiksi historis Indonesia
yang dirilis tahun 2010 dan merupakan bagian kedua dari rangkaian film
"Trilogi Merdeka" atau “Trilogi Merah Putih”. Film ini juga disutradarai
oleh Yadi Sugandi dengan bantuan Conor Allyn. Film Darah Garuda berkisah
mengenai sekelompok kadet heroik yang bergerilya di pulau Jawa pada tahun 1947.
Terpecah oleh rahasia-rahasia mereka pada masa lalu, dan konflik yang tajam
dalam hal kepribadian, kelas sosial dan agama, keempat lelaki muda bersatu
untuk melancarkan sebuah serangan nekat terhadap kamp tawanan milik Belanda,
demi menyelamatkan para perempuan yang mereka cintai. Para kadet ini terhubung
dengan kantor pusat Jendral Sudirman di mana mereka diberi sebuah tugas sangat
rahasia di belakang garis musuh di Jawa Barat, sebuah serangan dengan gaya
komando pada lapangan udara vital yang dapat membalikkan perlawanan para
pemberontak melawan kezaliman lewat udara yang telah dilakukan Jendral Van Mook
pada Agustus 1947. Menembus dalam ke hutan, mereka bertemu dengan kelompok lain
dari separatis Islam, juga menemukan sekutu baru, bahkan ada orang yang
potensial berkhianat menjadi mata-mata kolonial dan musuh lama yang bertanggung
jawab atas intelijen Belanda. Para Kadet terkepung saat mencoba bergerilya di lapangan
udara milik Belanda, baik oleh musuh dari luar maupun dari dalam. Oleh karena
para pahlawan yang terus bersatu dan saling percaya, mereka berani mati dan berjuang
demi mengejar satu tujuan, yaitu mempertahankan kemerdekaan.
Yang
terakhir ada “Hati Merdeka” atau “Merah Putih III”, film drama fiksi historis
Indonesia yang dirilis tahun 2011 ini merupakan bagian ketiga dari rangkaian
film "Trilogi Merdeka" atau “Trilogi Merah Putih”. Film ini lagi-lagi
disutradarai oleh Yadi Sugandi dan Conor Allyn. Film ini berawal dari misi yang
berakhir sukses namun tragis karena pasukan dari pihak Indonesia kehilangan seorang
pemuda yang tergabung dalam barisan pasukan terbaik Jendral Sudirman bernama
Budi yang memilih mati di tangan Belanda saat ia tertangkap basah oleh Belanda.
Kesetiaan pasukan ini kembali diuji dengan mundurnya pimpinan mereka, Amir dari
Angkatan Darat. Tanpa pemimpin dan dengan dirundung kesedihan karena kehilangan
mereka, para kadet membawa dendam mereka dalam perjalanan misi mereka ke Bali,
tempat Dayan yang kini bisu berasal untuk membalas dendam kepada Belanda.
Mereka dikirim ke Bali untuk membunuh Kolonel Raymer (Michael Bell, aktor
berbakat dari Inggris yang meninggal April lalu), yang telah membunuh keluarga
Tomas di awal trilogi ini. Tomas telah dipilih sebagai pemimpin baru dari
pasukan kadet ini. Dalam perjalanan ke Bali, para kadet harus mengahadapi
banyak hadangan dari tentara Belanda, salah satunya menghadapi kapal perang
Belanda dengan meriamnya di Lautan. Sesampainya di Bali, kelompok ini
menyelamatkan Dayu (Ranggani Puspandya) dari kekejaman kelompok milisi KNIL
Kolonel Raymer, tetapi Mariyus hampir mati terbunuh saat mencoba membantu
menolong Dayu karena ditikam senjata tajam dari belakang oleh salah satu
pasukan Belanda. Saat teman mereka sedang berjuang antara hidup dan mati,
pasukan kadet ini bertemu dengan pemimpin pemberontak bawah tanah Wayan Suta
(Nugie). Tomas sempat bentrok dengan pimpinan mereka terdahulu (Amir) saat
mereka merencanakan serangan bersama Wayan Suta
untuk melawan milisi Raymer karena Amir yang sempat mundur sebagai
perwira dan digantikan oleh Tomas tiba-tiba muncul di hadapan Tomas sambil
berkata kalau dia akan ikut berperang dan kembali menjadi perwira demi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di daerah Bali. Perang tersebut pun
akhirnya tak terelakkan, perang yang dilangsungkan di Desa Marga, Bali ini
menciptakan dua hal, yang pertama: kemenangan telak Indonesia atas Belanda dan
yang kedua: perang sampai titik darah penghabisan dengan bukti banyaknya korban
meninggal dari pihak Indonesia. Perang itu pun kini diabadikan dengan sebutan
“Puputan Margarana” yang artinya “Perang sampai titik darah penghabisan di desa
Marga”. Itu adalah cerita singkat yang cukup panjang, setelah anda membaca
ringkasan film Trilogi Merdeka, pasti anda langsung sependapat dengan saya
bahwa film tersebut sangat erat kaitannya dengan ideologi nasionalisme.
Mungkin
bukan hanya saya, tapi anda juga, atau bahkan siapapun pasti pernah ada di
titik saat kita pertama kali merasakan tumbuhnya rasa nasionalisme, rasa cinta
itu timbul karena rasa ingin berjuang dan ingin mempertahankan yang
menggebu-gebu terhadap Indonesia, terhadap Nusantara, terhadap tanah air,
terhadap negara, terhadap tempat di mana kita lahir, hidup, dan mati. Rasa
tersebut akan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Saya kira film ini
sangat senada dalam menggambarkan rasa nasionalisme saya, Saya ingat betapa
kuatnya tekad para perwira, para penduduk, para pecinta damai, para pengagum
negeri, dan para-para lainnya yang
menginginkan kemerdekaan tetap bertahan, ketentraman negeri tetap terjalankan,
dan negeri Indonesia tetap terdirikan. Jadi film ini seperti mengingatkan saya
pada momen itu, saat semua elemen pribumi bersatu demi mengusir penjajah agar
Indonesia tetap merdeka. Bahkan, film ini pun seakan-akan mengajarkan saya,
betapa pentingnya menumbuhkan rasa Nasionalisme dalam diri, Bagaimana saya
bersikap dalam menjunjung tinggi negara dengan rasa cinta.
Ketika
kita terciprat pertanyaan, bagaimana kita bisa menumbuhkan rasa nasionalisme
dalam diri kita? Bagaimana kita bisa membubuhkan ideologi nasionalisme pada
diri kita? Apakah hanya perlu menonton film Trilogi Merdeka? Jawabannya adalah
bisa jadi, dan bisa tidak. Mengapa? Karena menumbuhkan rasa nasionalisme untuk
dapat menganut ideologi nasionalisme tidak melulu karena satu hal saja, tetapi
bisa dilakukan juga dengan hal lain. Misal saya terpecik rasa nasionalisme saya
karena menonton film Trilogi Merdeka, tetapi rasa nasionalisme dalam diri saya
ini juga dapat terlecut dengan pergi ke museum-museum sejarah Indonesia,
membaca buku sejarah Indonesia, atau hal-hal yang terkait karenanya. Kembali
menilik tentang film ini, kalau kita coba rasakan dengan sangat menghayati,
kita juga akan seperti merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan para
pejuang dalam film tersebut. Ketika mereka berperang dengan semangat membara
melawan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, kita juga seperti
merasakan semangat membaranya mereka, ketika mereka berduka saat menyaksikan
banyak teman-teman mereka yang gugur dalam medan perang, kita juga seperti
merasa bahwa kita juga berduka atas kepergian atau gugurnya para pejuang.
Ketika mereka berhasil mengesampingkan perbedaan suku, ras, ataupun agama, dan
lebih mengedepankan rasa toleransi untuk dapat bersatu dalam satu kesatuan negara
Indonesia, kita juga jadi lebih sadar bahwa rasa toleransi itu penting dalam
menyikapi perbedaan, saling menghargai perbedaan itu penting demi terciptanya
persatuan yang sangat diidam-idamkan.
Secara
keseluruhan, film Trilogi Merdeka memang menarik minat penonton dalam menggugah
rasa nasionalisme si penonton. Apalagi ketika kita mencoba mengamati film ini, di
mana film ini berkisah tentang petualangan empat pemuda putera bangsa dari
beragam identitas (suku/agama berbeda), yang memiliki jiwa serta semangat
berkobar melawan penjajah demi bertahannya kemerdekaan Indonesia. Pengembangan
karakter dari keempatnya disajikan secara perlahan dalam trilogi film tersebut,
melalui kilas balik masa lalunya dengan kisah yang berbeda-beda. Namun ada satu
kesamaan dari banyaknya perbedaan tersebut, yaitu masa lalu kelam yang sama-sama
mereka alami membuat mereka mengerti bahwa mereka merasakan rasa sakit yang
sama dan membuat mereka jadi memiliki impian yang sama lewat rasa sakit
tersebut. Hal ini juga yang membuat kita akhirnya semakin mengerti akan kondisi
rumit sisi manusiawi terhadap keberagaman bangsa Indonesia, bahwa kita saling
terhubung, bahwa kita memiliki rasa sakit yang sama dan impian yang sama. Jadi
film Trilogi Merdeka pantas untuk dinikmati sebagai sebuah media pengingat akan
film perang kemerdekaan sekaligus media untuk menumbuhkan rasa nasionalisme.
Berdasarkan
asumsi-asumsi tersebut, kita seharusnya semakin yakin bahwa film Trilogi
Merdeka atau Trilogi Merah Putih memperlihatkan alur yang senada sekaligus
berkesinambungan dengan rasa nasionalisme seseorang. Film seakan-akan selalu
mengajarkan kita bahwa mencintai tanah air itu adalah suatu keharusan sebagai
hubungan timbal balik antara kita dan tanah air. Menonton Film Trilogi Merdeka
dapat membuat seseorang menjadi sosok yang nasionalis dan membuatnya
berideologi nasionalisme, atau seseorang yang memilki pandangan nasionalisme
akan semakin tergerak hati dan rasa kecintaannya saat maupun setelah menonton
film Trilogi Merdeka.
Tetapi,
apakah benar ideologi nasionalisme seseorang itu tercipta semata-mata karena
mengembangnya rasa nasionalisme seseorang? Apa benar suatu film tentang
nasionalitas dapat membuat seseorang menjadi nasionalis sekaligus menjadi pribadi
yang berideologi nasionalisme? Saya pun saat ini masih memikirkan teknik-teknik
yang pas untuk menganalisa dan memecahkan itu semua, tentang ideologi
nasionalisme, tentang rasa nasionalis, dan tentang kenasionalitasan seseorang.
Ya, semua itu masih saya pikirkan. Yang jelas, saya merasa sangat senang karena
bisa dalam mencoba membongkar rasa nasionalis yang terkandung dalam film
Trilogi Merdeka dan mengaitkannya dengan ideologi nasionalisme. Ternyata hal
tersebut memang memiliki keterkaitan dengan konsep saling mempengaruhi atau
sebab-akibat.
Keren banget kak, saya jadi tertarik untuk mengikuti sastra
BalasHapusWahhh menarik banget kak, kerenn
BalasHapus