NATIONAL TAX SEMINAR 2021
NATIONAL TAX SEMINAR 2021
Oleh: Nabilla Putri Anandya
Halo Edufriend, IMAKTA atau Ikatan Mahasiswa Akutansi
Tarumanegara mengadakan seminar pada hari Selasa, 26 Oktober 2021. Dengan tema
yang diambil adalah “The Impact Of Changes To The Draft Law On General
Provisions And Taxation Procedures On Tax Revenues In Indonesia During The
Covid-19 Pandemic” dimana tema ini membahas tentang kebijakan pajak disaat
pandemic seperti saat ini.
Seminar kali ini diisi oleh Ibu Inge Diana
Rismawati,S.E.,Ak., M.F.M. yaitu selaku Head
of Sub-Directorate of Tax Counseling of DJP sebagai pembicara pertama. Lalu
ada Bapak Drs. Turmanto selaku Indirect
Tax Leader of Deloitte sebagai pembicara kedua. Dan Bapak DR. Ngadiman,
S.H., S.E., M.Si. yaitu President
Director of PT Widya Citra Sejahtera sebagai moderator, serta Bapak Dr.H.
Suherman Saleh, Ak., M.Sc., CA. yaitu Chairman
of AKP21 sebagai keynote seminar ini.
Pada pembahasan materi webinar National Tax Indonesia
2021 berisikan tentang bagaimana manfaat pajak untuk suatu negara. Serta
membahas tentang aturan baru PPh dan PPn dalam RUU Harmonisasi Peraturan
Perpajakan yang baru di resmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berisi
lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai
tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen dinaikkan menjadi Rp60 juta
dari sebelumnya Rp50 juta, sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap.
Kenaikan batas lapisan (layer) tarif terendah ini memberikan manfaat kepada
masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar pajak lebih rendah
dari sebelumnya.
Di sisi lain, pemerintah mengubah tarif dan menambah
lapisan (layer) PPh orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan kena
pajak di atas Rp5 miliar. Perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan
keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah,
termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan, dan bagi orang pribadi
yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar.
RUU HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen
untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya yang sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai
menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi. Tarif
ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN
(22,17%), negara-negara OECD (22,81%), negara-negara Amerika (27,16%), dan
negara-negara G-20 (24,17%).
Lebih lanjut, RUU HPP juga mengatur perluasan basis Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas
PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan,
jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya akan
diberikan fasilitas dibebaskan PPN.
Sementara itu, pemerintah juga menetapkan tarif tunggal
untuk PPN. Kenaikan tarif PPN disepakati untuk dilakukan secara bertahap, yaitu
menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1
Januari 2025. Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha
yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Jika dilihat
secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia
sebesar 15,4%, dan juga lebih rendah dari Filipina (12%), China (13%), Arab
Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%).
Dalam RUU HPP juga terdapat terobosan baru yaitu
mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan.
Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) orang pribadi akan semakin memudahkan Wajib Pajak orang pribadi
dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Meskipun demikian, penggunaan NIK tidak berarti semua WNI
wajib membayar PPh, tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan
objektif untuk membayar pajak, yaitu apabila orang pribadi mempunyai
penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai
peredaran bruto di atas Rp500 juta setahun.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) juga diterapkan dalam RUU HPP ini. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. PPS akan berlangsung pada 1 Januari-30 Juni 2022.
RUU HPP merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
rangkaian reformasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini, baik reformasi
administrasi maupun reformasi kebijakan. RUU ini juga akan menjadi batu pijak
yang sangat penting bagi proses reformasi selanjutnya. Implementasi berbagai
ketentuan yang termuat dalam RUU HPP diharapkan akan berperan dalam mendukung
upaya percepatan pemulihan perekonomian dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.