Pentingnya Penanaman Nilai Kejujuran Untuk Mengurangi Kebiasaan Menyontek #KATAUNJ16
Menyontek merupakan sesuatu yang
dianggap sebagai tindakan tidak terpuji serta mengkhianati karakter, terutama
kejujuran. Seperti apa yang diungkapkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Tim Pustaka Pheonix, 2009), menyontek berasal dari kata sontek yang berarti
melanggar, menocoh, menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain
sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak.
Kebiasaan menyontek hadir dikarenakan
berbagai faktor. Ada faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor dari dalam
dapat disebabkan kurangnya kesadaran atas kejujuran, ketidakupayaan untuk
berusaha lebih, serta kurangnya rasa percaya diri dan yakin terhadap hasil
kerja pribadi. Faktor dari luar yakni lingkungan yang cenderung memiliki
paradigma bahwa seseorang akan lebih dihargai ketika memliki nilai yang tinggi
ketimbang proses itu sendiri. Kegiatan mencontek pun ditempuh dengan berbagai
cara. Hetherington dan Feldman (Anderman dan Murdock, 2007) mengelompokkan
empat bentuk perilaku menyontek, yaitu: Individualistic-opportunistic dapat
diartikan sebagai perilaku dimana siswa mengganti suatu jawaban ketika ujian
atau tes sedang berlangsung dengan menggunakan catatan ketika guru atau guru
keluar dari kelas. Independent- planned dapat diidentifikasi sebagai
menggunakan catatan ketika tes atau ujian berlangsung, atau membawa jawaban
yang telah lengkap atau telah dipersiapkan dengan menulisnya terlebih dahulu
sebelum ujian berlangsung. Socialactive yaitu perilaku menyontek dimana siswa
mengkopi, melihat atau meminta jawaban dari orang lain. Social-passive adalah
mengizinkan seseorang melihat atau mengkopi jawabannya.
Kebiasaan mencontek di kalangan pelajar
Indonesia bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah saja. Terlebih mendekati
musim ujian sekolah ataupun Ujian Nasional. Kasus terbesar dalam pelaksanaan UN
2015 adalah bocornya naskah soal di internet. Dari hasil verifikasi kala itu,
ada 30 buklet dari 11.730 total buklet soal UN yang telah diunggah secara
ilegal. Kejadian tersebut lantas membuat Kementerian Pendidikan dan kebudayaan
(Kemdikbud) bertindak, yakni dengan berkoordinasi dengan Menkominfo untuk
memblokir tautan Google yang berisi naskah soal UN itu. Koordinasi via telefon
juga dilakukan dengan Google Inc dalam upaya pemblokiran. Hal tersebut
mengakibatkan kunci jawaban diobral sana sini seolah menjadi peluang bisnis
yang menjajikan. Padahal apabila ditelaah lagi secara logis, penjual kunci
jawaban pun tidak ketahui identitas serta kapabiltasnya dalam membuat kunji
jawaban. Mirisnya, pelajar atau pembeli kunci jawaban itu sendiri tidak
memusingkan hal semacam itu, asalkan kunci jawaban didapat dan selamat.
Selain maraknya jual beli kunci
jawaban, termyata pelaku kecurangan pun datang dari pihak sekolah itu sendiri,
terutama guru. Menurut data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),
terdapat tujuh jenis kecurangan yang terjadi di UN tahun ini. Data kecurangan
tersebut berdasarkan laporan atas pelaksanaan UN di Lampung, Pontianak, Medan,
Jakarta, Surabaya, dan Cikampek. Laporan yang masuk diperoleh dari pengaduan masyarakat
di pos pemantauan UN. Kecurangan tersebut diantaranya yaitu ada laporan
kecurangan sistemik di Lampung. Atas perintah kepala sekolah, guru memasuki
ruangan dan membantu siswa mengerjakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Realitas yang demikian mirisnya seolah mencambuk pemikiran bahwa nilai-nilai
korupsi sudah tertanam sejak dini di kalangan masyarakat Indonesia, terutama
pelajar yang kelak menjadi penerus di masa yang akan datang. Kenyataan tersebut
kembali mencabik wajah pendidikan Indonesia yang gagal mengedepankan nilai
kejujuran dalam setiap lini kehidupan.
Dalam sebuah acara seminar di Universits
Tadulako, Ketua KPK Abraham Samad menyatakan “Menyontek saat ujian, berarti
tidak jujur, dan ini adalah cikal bakal dari kejahatan korupsi. Serta merupakan
intellectual corruption atau korupsi intelektual,” tegas Dr. Abraham Samad.
(Dikutip dari bcbrita.com). Karenanya, menyontek merupakan permasalahan yang
harus diatasi dimulai dari mencabut akar-akar ketidakjujuran itu sendiri.
Penanaman karakter kembali terutama penanaman nilai kejujuran di lingkungan
sekolah maupun sosial sangat dibutuhkan sedari dini agar pelajar memiliki
prinsip dan kesadaran akan hal tersebut. Karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya dan adat istiadat. Saat ini, pendidikan karakter juga berarti
melakukan usaha sungguh-sungguh, sistematik, dan berkelanjutan untuk
membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia
bahwa tidak aka nada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan
karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih
baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, serta tanpa rasa percaya diri.
Pendidikan karakter didasarkan pada enam nilai-nilai etis bahwa setiap orang
dapat menyetujui nilai-nilai yang tidak mengandung politis, religious, atau
bias budaya. Salah satunya adalah Trustworthiness (Kejujuran) yang merupakan
pilar paling utama, yakni jujur, jangan menipu, menjiplak atau mencuri, jadilah
handal melakukan apa yang dikatakan akan dilakukan, melakukan hal yang benar,
bangun reputasi yang baik, patuh, berdiri dengan keluarga , teman, dan negara.
(Sistem Pendidikan Nasional). Thomas Lickona dalam bukui terkenalnya,
“Educating for Character” (1991) menyimpulkan, pendidikan karakter adalah usaha
sengaja untuk menolong peserta didik agar memahami, peduli akan, dan bertindak
atas dasar inti nilai-nilai etis. Dalam hal ini, guru dan orang tua memainkan
peran yang sangat vital. Guru sebagai pendidik memiliki tugas yang berat dalam
upaya mengatasi kebiasaan mencontek di kalangan pelajar. Salah satu upaya yang
bisa dilakukan oleh guru ialah memberikan motivasi pada siswa yang mencontek pada
saat ujian agar siswa dapat bersikap jujur dalam menghadapi ujian dan
menanamkan rasa percaya diri pada setiap siswa.
Penanaman nilai kejujuran bukan hanya
tanggung jawab pemangku pendidikan di sekolah semata. Lebih dari itu, orang tua
dan lingkungan yang merupakan stakeholder juga turut menyumbang pendididikan
karakter, dimana karakter adalah sesuatu yang melekat dan terbentuk sedari dini
mungkin. Oleh karena itu, penanaman nilai kejujuran kepada anak sedini mungkin
merupakan hal yang penting dilakukan demi mengurangi kebiasaan menyontek di
Indonesia. Seperti halnya sebuah ungkapan bahwa “Anak-anak berjumlah hanya
sekitar 25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan.”
Purwo Besari
Manajemen Pendidikan 2015