Then: TV Killed the Radio, Now: Streaming Services Kill TV?
Muhammad Dhafin Abdillah
Foto: StatistaPada tahun 1978, Trevor Horn, Geoff Downes, dan Bruce Wolley memilih menghabiskan siang hari di apartemen Downes untuk menulis lagu. Waktu yang dihabiskan saat itu pun terasa tidak sia-sia, pasalnya lagu yang ditulis enam bulan sebelum akhirnya dirilis tersebut berhasil menjadi hits pada masanya. Meskipun lagu tersebut dua kali dirilis — perilisan pertama berupa single oleh Bruce Wolley, perilisan kedua oleh The Buggles (Horn & Downes) — , pesan yang disampaikan pada lagu tersebut tetaplah sama.
Trio british tersebut menyampaikan pesan bahwa generasi pada masanya kurang menghargai karya-karya sebelumnya. Penyebabnya generasi tersebut hanya mengetahui TV sebagai medium hiburan, padahal masih ada radio. Wajar saja pada tahun 60an industri hiburan mengalami transisi dari radio ke vidio — televisi sebagai medianya — . Peralihan medium tersebut membuat radio kehilangan banyaknya pendengar.
Tiap malam tidak ada lagi rumah-rumah yang menyetel radio untuk mendengar kabar-kabar yang terjadi pada pagi harinya, bahkan untuk sekedar bersantai untuk mendengarkan lagu. Mereka memilih menyetel TV karena tak hanya menawarkan pengalaman audio, tapi juga visual.
“Video killed the radio star, video killed the radio star”
***
Saat ini kita menghabiskan setidaknya 5–7 menit untuk memilih film atau serial yang tersedia pada layanan streaming untuk kita tonton sambil menghabiskan makanan yang ada di depan kita, padahal ada pilihan mudah untuk menyetel TV.
Kebebasan seseorang untuk memilih acara yang kita tonton-lah yang membuat kita tak perlu lagi kebingungan mencari sebuah benda yang kalau dicari menghilang tetapi kalau tidak dicari ada, apalagi kalau bukan remote TV.
Sebuah penggambaran yang sama seperti 40 tahun lalu ketika The Buggles merilis lagu ‘Video Killed the Radio Star’. Apakah ini sebuah ‘deja vu’ seperti yang dilantunkan oleh Olivia Rodrigo atau siklus 100 tahun seperti yang terjadi pada pandemi?
Kalau kita telaah lebih dalam, pada akhirnya dinamika sosial yang terjadi pada industri hiburan hanyalah sebuah evolusi. Konten yang ditawarkan masihlah berkutat pada hal yang sama — entertainment and news — .
Peralihan radio ke TV membawa pengalaman visual, peralihan TV ke layanan streaming membawa kebebasan seseorang untuk memilih acara apa yang akan mereka tonton pada waktu orang tersebut ingin menonton.
Meskipun begitu, layanan streaming tidak memberikan perbedaan signifikan seperti TV yang membawa pengalaman visual kala berpindah dari radio. Layanan streaming hanya menawarkan kebebasan memilih acara yang ingin kita tonton pada waktu luwang yang kita miliki.
Perihal konten? Berdasarkan data
yang dikeluarkan media Amerika, ABC, layanan streaming di negara adidaya
tersebut mencatatkan acara yang paling banyak ditonton pada aplikasinya
merupakan acara yang terkenal saat pertama kali TV banyak dimiliki oleh
orang-orang Amerika saat itu, ‘Roseanne’. Padahal layanan tersebut menyediakan
pula acara-acara yang baru untuk ditonton.
Hal tersebut hingga membuat sitkom-sitkom seperti ‘Friends’ dan ‘How I Met Your Mother’ membuat acara reuni dan franchise baru pada layanan streaming yang menyediakan dua acara tersebut, karna adanya peluang bisnis. Dengan kata lain belum ada pembaharuan konten yang signifikan.
Semua informasi tersebut menuntun kita ke sebuah pertanyaan, apakah masing-masing evolusi saling membunuh evolusi sebelumnya? Meskipun The Buggles mengeluarkan misah-misuhnya lewat karya, pada akhirnya medium yang disebut pun masih ada sampai sekarang. Adapun kalimat ‘membunuh’ tersebut ternyata mereferensikan berkurangnya peminat dalam jumlah yang drastis.
Lalu, kalau radio saja sudah berkurang
drastis pendengarnya, apakah TV juga berkurang drastis penontonnya karena
kehadiran layanan streaming? Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh lembaga
statistik, statista dapat diketahui
bahwa pada tahun 2019 saja jumlah orang yang berlangganan layanan streaming
lebih banyak daripada TV kabel. Sehingga pernyataan ‘Streaming Services kill the TV’ sudah bisa dikatakan iya.
0 komentar:
Posting Komentar