Seminar Lintas Agama
Sabtu, 9 Juni 2018, salah satu Unit
Kegiatan Mahasiswa Gedung G, Universitas Negeri Jakarta yaitu KMHB (Keluarga
Mahasiswa Hindu Buddha) UNJ mengadakan seminar yang sangat tidak biasa yaitu
Seminar Lintas Agama. Bertempat di Gedung Ki Hajar Dewantara, Lantai 9,
Universitas Negeri Jakarta. Seminar ini dibuka untuk mahasiswa UNJ dan umum,
baik yang termasuk generasi Y dan Z maupun orang tua. Tak ayal, dengan tema
yang diusung yaitu Pandangan Agama tentang Media Sosial yang Mempengaruhi
Kebiasaan Generasi Millenial membuat seminar ini mempunyai daya tariknya
sendiri. Hal ini terbukti dari antusiasme peserta yang mendaftar secara online
maupun offline.
Beberapa peserta yang ditemui menaruh
ekspetasi tinggi mengingat baru pertama kali mengikuti seminar yang
menghadirkan pembicara dari kelima agama yang ada di Indonesia. Sementara
beberapa peserta lain mangaku penasaran dengan kemasan Seminar Lintas Agama,
apakah di dalamnya akan terjadi pro atau kontra pada setiap pandangan agama
atau malah sebaliknya akan menjadi sebuah diskusi yang menarik.
Seminar dibuka dengan sambutan dari
berbagai pihak, penampilan tari dari UKM UNJ, dan dimoderatori oleh Adica
Wirawan, S.S. selaku Pekerja Millenials dan Alumni KMHB. Seminar dikemas dengan
mempersilahkan setiap pembicara memaparkan tema sesuai dengan pandangan agama
yang dianut. Dimulai dari pandangan agama Konghucu, Kristen, Buddha, Hindu, dan
yang terakhir pandangan dari agama Islam. Setiap pembicara diberikan waktu
selama 20 menit. Dari setiap pemaparan, selalu ditekankan oleh pembicara bahwa
memang untuk ajaran universal semua agama itu sama. Namun, dalam memandang
suatu kasus setiap agama mempunyai nilai-nilai ajaran yang dipegang sendiri.
Dari pandangan agama Konghucu dipaparkan
oleh Drs. Uung Sendana, SH selaku Ketua Umum MATAKIN. Menurut Pak Uung, media
sosial adalah suatu niscaya dari hukum perubahan. Tiada yang tetap pada hukum
perubahan. Media sosial oke, tetapi harus dibatasi dengan sikap tengah dan harmonis.
Dari pandangan agama Kristen dipaparkan
oleh Pdt. Manuel E. Ralntung, S.SI, MM. selaku Ketua Umum PGI DKI Jakarta.
Menurut Pak Pendeta Manuel, aktualisasi diri menjadi suatu kebutuhan karena
keinginan tersebut menjadikan kita eksis dan narsis. Namun, yang tidak baik apabila
aktualisasi yang kebablasan, karena menjadikan kita berpusat pada diri
sendiri bukan Tuhan. Jika kita ingin meng-upload foto ke Medsos,
pilihlah foto yang memperlihatkan kemuliaan hidup dan keindahan bersama dengan
Tuhan.
Dari pandangan agama Buddha dipaparkan oleh
Drs. Suherman Widjaja, MBus. Acc. Fin selaku Direktur BVDI Universitas Prasetiya
Mulya dan President AMA Indonesia, Jakarta. Menurut Pak Suherman, kita mesti
menyadari dan memahami yang tinggal di dunia ini bukan hanya kita saja, tetapi
banyak yang lain. Setiap orang mempunyai pemahaman yang berbeda dalam memandang
suatu fenomena, salah satu bahasannya tentang Media Sosial. Dari nilai-nilai
yang ada di ajaran Buddha, kita bisa ambil satu nilai untuk melihat persoalan
tentang Media Sosial yaitu Panna (wisdom) atau kebijaksanaan.
Nilai kebijaksanaan bisa muncul jika kita update berbagai pengetahuan. Pengetahuan
selain ada sisi positif, ada sisi negatifnya juga. Karena segala sesuatu tidak
kekal, maka perubahan dan perbedaan ambil sisi positifnya tanpa terganggu pada
pengaruh sisi negatif.
Dari pandangan agama Hindu dipaparkan
oleh I Wayan Kantun Mandara, S.Ag., M.Fil.H selaku Ketua PHDI Jakarta Pusat.
Menurut Pak Wayan, di dalam agama Hindu mengenai agama dan Media Sosial berjalan
dengan sejajar. Maka dari itu, kita belajar mengelola pikiran bijaksana untuk
media sosial itu sendiri. Ajaran cinta kasih dan toleransi itu diterapkan agar tercipta kedamaian di dunia serba teknologi ini.
Lalu yang terakhir, pemaparan dari
pandangan agama Islam oleh Dr. Mulawarman Hannase, LC., MA.Hum selaku
Sekretaris NU Jakarta, menurutnya kita ini sedang memasuki peklik netizen
dimana ada sisi positif dan negatif. Media Sosial seharusnya menjadi media penyebar
informasi. Di dalam Islam, penyebaran di Media Sosial ada 3 informasi yang baik
yaitu menyebar dengan penuh hikmah, memberikan nasehat, dan mengajak dialog yang
baik. Untuk beretika di Media Sosial, sedekat atau sekenal apapun kita dengan
orang lain, tetap gunakanlah bahasa yang layak.
Selepas diadakannya acara Seminar Lintas
Agama ini, panitia pelaksana mempunyai harapan kepada peserta yang datang ke
acara ini untuk selalu menggunakan media sosial dengan bijak, bertanggungjawab
dan tidak melupakan ajaran-ajaran agama. Jadi, saat ingin men-share
sesuatu yang bersifat hoax harus berpikir dengan panjang, diingat juga
aturan-aturan agama, karena menyebarkan berita hoax tidaklah sesuai
dengan ajaran di agama manapun.
Vidya Siti Wulandari