Kakek dan Suara Tawa Kesukaannya #KATAUNJ6
Ia tertawa, terdengar merdu
dan menimbulkan sedikit getaran di dada. Sebuah tawa yang tak terlalu keras
namun berefek magis bagiku yang terpaku padanya. Entitasnya menyita pandangku,
merenggut semua fokus ku sehingga tertuju hanya padanya. Mari ku perkenalkan
pada kalian semua, Freyja namanya. Gadis belia dengan tawa penuh pesona.
Sejak pertama bertemu
dengannya, sekilas tak kudapati keistimewaan pada dirinya. Ia terlihat biasa,
jika bukan karna namanya yang sedikit tak biasa, aku mungkin akan segera
melupakannya. Namun penilaianku segera berubah saat ia tertawa. Jenis tawa yang
membuatmu ikut merasa bahagia. Hanya dengan sebuah tawa maka kau akan tahu, bahwa
ia secantik namanya.
Mungkin terdengar menggelikan,
atau bahkan klise jika aku mulai menyukai gadis itu karna tawanya. Namun aku
disini akan menuliskan,betapa aku menyukai tawa seorang Freyja Anida. Kisah ini
akan sedikit membosankan, penuh dengan kata kata bernada hiperbolis yang aku
sebenarnya cukup malu untuk menuliskannya. Kisah pendek ini kutuliskan
untuknya, untuk tawanya yang kuharap bisa terus terdengar oleh dunia. Meski tak
dapat ku mendengarnya.
Hari itu, aku masih bisa
dengan jelas mendengar tawanya. Yang tanpa ku terka sama sekali menjadi hari
terakhir dimana aku dapat dengan bebas mendengarnya. Pagi hari berlalu seperti
biasa, dengan sedikit keributan tentang perebutan sarapan oleh kedua saudaraku,
serta tambahan ocehan ibuku. Ya pagi hari yang biasa. Lalu siangnya aku masih
dapat dengan jelas mendengar tawanya ketika ia dan teman temannya bercanda di
kafetaria sekolah.
Dan sore itu, sore dimana
tragedi itu terjadi. Suara desingan peluru tiba-tiba terdengar dari luar kelas.
Dan seperti seketika seisi sekolah pun dilanda kepanikan. Tidak terkecuali aku dan
teman teman sekelasku. Semuanya berebutan untuk keluar kelas dan menyelamatkan
diri masing-masing. Suara desingan peluru,teriakan,serta jeritan memenuhi indra pendengaranku.
Betapa aku ingin mengganti semua suara menyeramkan itu dengan suara Freyja.
Semua berlalu dengan cepat.
Yang kuingat hanyalah jeritan, teriakan para guru, sirine ambulans, dan
wajah Freyja yang ketakutan. Lalu semuanya pun gelap. Dan aku berharap aku
masih bisa keluar dari kegelapan itu. Berharap masih dapat mendengar suara tawa
kesukaanku.
“Apa
kau bisa mendengar ku?”
Dan yang kudengar hanyalah
dengungan menyebalkan. Freyja menatapku khawatir. Ku buka mulutku untuk
bertanya sesuatu, bertanya dimana kami saat ini. Namun yang kembali kudengar hanyalah
dengungan. Dan saat itu aku sadar. Tuhan mengambil kemampuanku untuk mendengar.
“Kau
seharusnya beristirahat.”
Itu
suara Freyja. Ya meski sedikit, kemampuan mendengarku tidak sepenuhnya hilang. Ya
aku setidaknya bersyukur, aku masih bisa mendengar penggalan tawa dari seorang
Freyja.
.............................
Ku tatap buku harian bersampul
coklat usang yang ada di tanganku, lalu kembali menatap kakek yang sedang duduk
di kursi goyangnya. “Jadi, kakek jatuh cinta pada nenek karna suara tawa nenek?” Tanyaku spontan. Ibu
yang sedang mengatur meja makan untuk jamuan makan malam spontan menoleh, lalu
mengangguk pelan. “Ya, nenek bilang, kakek selalu suka pada suara nenek. Walaupun sudah tidak
bisa mendengar dengan baik, kakek selalu memuji suara tawa nenek. Bahkan sampai
sekarang.”
Jawab ibu sambil tersenyum simpul.
Aku mengangguk paham. Lalu
kembali melanjutkan membaca buku harian kakek sewaktu muda dulu. Buku harian yang hampir seluruhnya berisi
tentang nenek dan suara tawanya yang sangat dirindukan oleh kakek.
Nuraisyah Akbar
Usaha Jasa Pariwisata 2015