72
Tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, apakah kita merasakan apa arti
‘kemerdekaan’ itu?. Sejarah mencatat Indonesia melepaskan kekangan dari
penjajahan dengan memerdekakan diri sendiri saat itu. Namun kini, apakah kita
masih merasakan kemandirian dari perjuangan tak kenal belah kasih itu?. 89
tahun yang lalu para pendahulu kita bersumpah bahwa Bangsa Indonesia satu.
Namun sekarang, apakah kita masih terasa ‘satu’?
Sungguh
miris ketika kita menengok kebelakang melihat perjuangan para pahlawan Bangsa
yang berkorban apapun demi Bangsa, namun apakah kita sadar saat ini kita malah
berkorban demi apapun meskipun Bangsa yang dikorbankan. Terlalu ironis ketika
tanah yang diperjuangkan secara bersama-sama untuk kemaslahatan Bangsa, namun
kini tanah yang diperjuangkan ternyata ‘masih’ bukan milik kita. Menyedihkan
memang ketika semangat yang dahulu digunakan sebagai bahan bakar pemersatu
Bangsa, namun sekarang semangat itu digunakan untuk memecah belah Bangsa.
Apakah
kita masih bisa tertawa ketika kita menyadari bahwa saat ini setiap tawa kita
menzalimi setiap tetes darah pendahulu kita?. Masih bisa ternyenyak meski sadar
sudah mendustakan sumpah para pendiri Bangsa?. Menyia-nyiakan setiap nyawa yang
dikorbankan demi hari ini?. Apakah masih mau berusaha menutup mata meski
realita pedih ada didepan kita?. Menutup telinga meski jeritan kenyataan
menggelora disekitar kita?. Menutup hidung meski bau-bau kebusukan penoda
kesatuan Bangsa hadir didepan batang hidung kita?. Apakah kita mau tetap diam
saja dengan kondisi seperti itu? Apakah kita sudah tidak punya hati untuk
tergerak? Apakah hati juga kita ‘gadaikan’ seperti Bangsa saat ini?
Ada
dua pilihan saat ini. Hanya diam dan menerima ‘seperti’ orang bodoh atau
memilih melawan karena tahu kita bodoh. Atau malah menjadi orang bodoh dengan
menambah satu pilihan lain yaitu masa bodoh saja pura pura jadi orang bodoh.
Namun, apakah kita siap untuk itu? Memilih antara diam, melawan atau menetapkan
diri menjadi simbol kebodohan itu.
Selalu ada pilihan-pilihan lainnya, selalu ada alasan dan alibi yang
bisa dipilih untuk menyangkalnya. Namun, apakah kita siap untuk apa yang kita
pilih?. Pilihlah, untuk dirimu? atau untuk Bangsamu?
Iqbal
Syafputra
Pendidikan
Teknik Elektro
2015
0 komentar:
Posting Komentar